Satu setengah tahun dari kelulusan, gw mau melihat sedikit ke belakang ke masa-masa saat gw melalui jenjang PhD dan apa yang sudah gw dapatkan dari situ. PhD gw mungkin nggak mulus-mulus amat, dan banyak naik turunnya. Namun toh pada akhirnya gw lulus – it’s a near win, but still a win nonetheless. Dalam tulisan kali ini mungkin gw mau sharingda sedikit saja tentang pengalaman gw dan cara-cara mengatasi permasalahan yang muncul selama PhD.
Pertama-tama, apa bedanya PhD (atau S3) dengan jenjang pendidikan S1 dan S2? Berdasarkan pengalaman gw pribadi, kuliah S1 lebih straightforward (bukan gampang loh). Kondisi yang diperlukan untuk sukses secara akademis lumayan jelas, dan action item yang bisa diturunkan dari situ juga gampang.
Gimana caranya sukses secara akademis? Dapat IPK maksimal. Gimana caranya dapat IPK maksimal? Ya dengan mendapat nilai A di dari sebanyak mungkin mata kuliah. Mendapatkan nilai A di mata kuliah biasanya sudah jelas kriterianya: dapat nilai yang bagus di ujian, ngerjain tugas dan PR. Buat masing-masing mata kuliah biasanya ada silabusnya, dan proses belajar mengajar nggak akan jauh-jauh dari situ (kecuali dapat dosen yang ajaib tapi itu lain cerita). Dari sisi kita, kita tinggal menyusun strategi untuk membagi waktu dan belajar dengan seefektif mungkin.
Agak berbeda dengan PhD, parameter keberhasilan akademik di sini agak blur. Misalnya kita gunakan analogi lomba lari untuk menggambarkan proses PhD, maka PhD adalah lari jarak jauh tanpa peta di mana kita juga nggak tahu harus berlari sejauh apa. Biasanya parameter keberhasilan S3 adalah output riset, yang berarti menerbitkan publikasi di jurnal internasional sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, topik apa yang layak untuk diteliti, pertanyaan apa yang harus kita ajukan dan bagaimana menjawabnya – semuanya harus kita susun sendiri.
Pada dasarnya riset PhD adalah proses mendorong batas ilmu pengetahuan manusia, karena itu nggak jarang bagi kita untuk merasa terdampar di tempat di mana kita nggak tahu kita ada di mana dan ke mana kita harus pergi. Akhirnya, nggak jarang orang merasa bego. Ini bisa jadi tantangan tersendiri buat ego individu, terutama buat orang-orang yang melabeli dirinya sendiri sebagai orang yang pintar – gw pribadi mengalaminya.
Berikut adalah sedikit saran yang bisa gw berikan kepada siapapun yang mungkin punya niatan untuk mengambil PhD, berdasarakan apa yang udah gw alami selama kurang lebih 5 tahun ngambil PhD dan 1.5 tahun riset sebagai postdoc.
1. Jangan dibawa personal, gagal itu biasa
Mungkin tips pertama dan paling penting, adalah jangan mengasosiasikan output PhD dengan identitas kita. Saat menjalani PhD, mudah bagi kita mengasosiasikan output PhD sebagai identitas karena sebagian besar waktu kita digunakan untuk riset. Akibatnya, kita menganggap sebagai cerminan diri kita. Jika riset gw bagus, tentu saja gw merasa bangga. Tapi ini juga bisa jadi bumerang, karena saat proses riset kegagalan bakal lebih sering terjadi.
Saat awal-awal memulai PhD di mana eksperimen gw sering gagal dan paper gw di-reject, gw pun menerjemahkan ini sebagai kegagalan personal. My project fails because I’m an idiot and a failure. Padahal ya setelah melihat ke belakang ya nggak juga. Proyek gagal ya biasa aja, namanya juga mencoba hal yang baru. Kalau nggak nyobain hal baru, ya risetnya nggak worth it.
“Anyone who has never made a mistake has never tried anything new“
Albert Einstein
Anggap saja gagal sebagai sebuah proses pembelajaran, dan fokus ke bagaimana menyikapi kegagalan. Coba jadikan ini bahan pembelajaran atau review – apa yang bisa gw lakukan dengan lebih baik dibanding sebelumnya? Apa yang sudah gw pelajari dari proses ini?
2. Fokus ke proses dan buat rutinitas
Riset PhD adalah sesuatu yang butuh waktu sangat lama sampai kita dapat feedback apakah yang kita kerjakan berhasil atau gagal. Yang lebih apes, biasanya kegagalan akan jauh lebih sering muncul dibandingkan dengan kesuksesan, karena memang itulah nature dari riset: jungkir balik dengan rentetan kegagalan, dan sesekali sukses.
Karena itulah, gw amat sangat menyarankan untuk fokus ke proses saja dibandingkan dengan terus menerus khawatir dengan hasil akhir dari research. Bagaimana kita mengatur proses sepenuhnya ada di bawah kendali kita, sementara hasil dari riset belum tentu bisa dikendalikan.
Ide yang menjadi inti dari buku Atomic Habits adalah perubahan besar dimulai dari hal-hal kecil. Apabila setiap hari kita jadi 1% lebih baik dari hari kemarin saja, maka dalam satu tahun kita sudah melakukan progress sebesar 1.01^365, yaitu sekitar 37 kali lipat. Ya, bahkan hanya dengan fokus ke hal-hal kecil saja, dalam jangka panjang kita bisa melihat progress yang signifikan.
Kunci dari fokus ke hal-hal kecil ini adalah dengan membuat rutinitas yang bisa diimplementasikan setiap hari. Orang pada umumnya menganggap orang yang sukses konsisten menempa dirinya punya willpower dan motivasi yang kuat. Akan tetapi, ini salah. Pada kenyataannya, kunci dari konsistensi adalah rutinitas, di mana kita bahkan nggak butuh motivasi lagi untuk mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. Kapan terakhir kalian harus mengumpulkan motivasi untuk bisa gosok gigi dua kali sehari?
Dalam PhD, banyak rutinitas yang bisa diterapkan untuk membantu progress PhD. Gw pribadi saat ini rutin membuat jadwal rencana pekerjaan hari itu, membaca paper dan membuat rangkuman, serta membuat progress report mingguan. Selain rutinitas yang berkaitan langsung dengan research sendiri, gw juga mengimplementasikan rutinitas yang membantu mempertahankan well-being gw, misalnya olahraga rutin, meditasi, dan journaling.
3. Fokus ke small wins
Berkaitan dengan poin nomor 2, coba ganti fokus dari merayakan sukses besar di akhir proyek jadi merayakan kesuksesan-kesuksesan kecil yang didapat selama proses.
Berhasil dapat gambar SEM yang bagus? Baru saja belajar cara pakai alat baru? Congrats, give yourself a pat on the back! Merayakan kemenangan sekecil apapun bisa membantu mempertahankan level motivasi kita di level tingkat yang acceptable.
4. Cari hobi dan istirahat yang cukup
Merasakan stres selama menjalani PhD adalah sesuatu yang wajar. Akan tetapi, dengan terus menerus berada dalam kondisi stres, cepat atau lambat kita akan mengalami mental breakdown. Hal ini akan menjadi counterproductive, karena kita justru nggak akan bisa menghasilkan output riset yang bagus apabila kita nggak dalam kondisi yang baik.
Menekuni hobi yang kita lakukan murni hanya karena kita suka melakukannya bisa membantu meredakan level stres kita. Dan berkaitan dengan dua poin sebelumnya, ini juga bisa memberikan kita semacam sense of accomplishment sehingga kita nggak merasa diri kita butut-butut amat.
Selama PhD, dua hobi yang sering gw lakukan adalah fotografi dan mengexplore Saudi. Menjalani kedua hobi ini beneran kerasa manfaatnya membantu gw mempertahankan sanity gw, karena saat menjalani hobi ini gw bisa melepas pikiran gw dari masalah riset. Selain itu, ada rasa pencapaian sendiri saat gw berhasil jalan-jalan ke tempat yang nggak umum dikunjungi orang – visa wisata Saudi baru ada akhir-akhir ini – dan mendapatkan foto-foto yang menurut gw wallpaper-worthy.
Satu hal lain yang harus diperhatikan adalah istirahat yang cukup. Ada orang-orang yang entah kenapa bangga kalau mereka begadang dan nggak tidur demi mengerjakan tugas. Well, menurut gw ini aneh sih, karena saat kita kekurangan tidur kemampuan kognitif kita menurun, dan kita nggak akan bisa menghasilkan output yang bagus. Belum ditambah kesehatan yang memburuk kalau ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
Di hari-hari tertentu memang sebagai PhD student kita harus menghabiskan waktu yang lama untuk eksperimen atau menulis paper, tapi jangan sampai jadi kebiasaan. Pastikan kerja keras juga diimbangi dengan istirahat yang cukup. Getting your PhD but losing your mental and physical health is just not worth it.
5. It’s ok to get help
Jujur, masa-masa PhD bagi gw pribadi adalah masa-masa yang sangat melelahkan dan stressful. Lembur dan kerja weekend bukan hal yang asing, dan ketidakjelasan tentang masa depan jadi beban tambahan tersendiri. Nggak ada yang menjamin bahwa usaha yang dimasukkan ke dalam research kita pasti jadi sesuatu yang layak publish – oke dalam hal ini gw sangat beruntung karena di akhir PhD gw alhamdulillah semuanya lancar, tapi 2-3 tahun pertama benar-benar mandek.
Saat itu gw pun stres berat, merasa bahwa PhD ini nggak ada artinya, dan ujung-ujungnya merasa gw sebagai manusia gagal karena nggak becus ngejalanin PhD. Waktu itu gw seriously considering to just find a job and quit this damn program.
Untungnya, waktu itu gw memutuskan untuk coba cari bantuan dengan ikutan konseling psikologis dari KAUST. Sebenarnya waktu itu gw agak malu ikut konseling seperti ini, karena gw merasa mungkin yang layak cari bantuan adalah mereka yang memang punya trauma atau luka psikologis – entah karena abuse atau kecelakaan masa kecil. Sementara gw datang dari keluarga ekonomi menengah bahagia yang nggak punya masalah apa-apa.
Tapi setelah sampai ke sini dan melihat ke belakang, gw sadar bahwa tiap orang punya ambang batasnya masing-masing. Bisa jadi orang lain melihat suatu masalah sebagai masalah yang sepele, tapi bagi otak orang yang mengalami masalah itu tetap di-recognize sebagai suatu luka yang serius. Nggak ada gunanya membanding-bandingkan masalah satu orang ke orang lain. Jangan karena merasa masalah kita terlalu sepele terus kita nggak mencoba untuk mencari pertolongan dari orang lain.
Proses konselingnya sendiri sih kurang lebih lebih seperti ngobrol jujur tentang masalah yang gw alami dan tiap sesi gw melakukan latihan mindfulness. Singkat cerita gw nggak paham betul bagaimana sesi ini membantu gw dalam mengurangi anxiety dan stress, tapi pada akhirnya gw berhenti konseling setelah gw merasa level stress gw ada di taraf yang manageable.
Mungkin itu sedikit sharing tentang hal-hal yang gw alami selama jadi mahasiswa PhD, dan 6 poin di atas adalah hal yang mungkin akan gw sampaikan ke diri gw sendiri saat gw mulai menjalain prosesnya. Tentu saja list ini sangat anecdotal, dan mungkin nggak berlaku buat orang lain yang membaca tulisan ini.
Tulisan ini pada dasarnya juga dibuat sebagai proses gw melihat ke belakang dan mengevaluasi apa yang udah gw lalui dari perpsektif orang luar, apa yang berhasil, apa yang gagal, dan semua yang harus disyukuri. Apakah semua kesulitan yang gw dapat selama PhD worth it? Absolutely. Apakah gw mau melewati proses PhD lagi? Nope, cukup sekali saja (tapi malah ngambil postdoc).