How I survived my PhD

Satu setengah tahun dari kelulusan, gw mau melihat sedikit ke belakang ke masa-masa saat gw melalui jenjang PhD dan apa yang sudah gw dapatkan dari situ. PhD gw mungkin nggak mulus-mulus amat, dan banyak naik turunnya. Namun toh pada akhirnya gw lulus – it’s a near win, but still a win nonetheless. Dalam tulisan kali ini mungkin gw mau sharingda sedikit saja tentang pengalaman gw dan cara-cara mengatasi permasalahan yang muncul selama PhD.

eyeglasses with gray frames on the top of notebook
Photo: @dandimmock, Unsplash

Pertama-tama, apa bedanya PhD (atau S3) dengan jenjang pendidikan S1 dan S2? Berdasarkan pengalaman gw pribadi, kuliah S1 lebih straightforward (bukan gampang loh). Kondisi yang diperlukan untuk sukses secara akademis lumayan jelas, dan action item yang bisa diturunkan dari situ juga gampang.

Gimana caranya sukses secara akademis? Dapat IPK maksimal. Gimana caranya dapat IPK maksimal? Ya dengan mendapat nilai A di dari sebanyak mungkin mata kuliah. Mendapatkan nilai A di mata kuliah biasanya sudah jelas kriterianya: dapat nilai yang bagus di ujian, ngerjain tugas dan PR. Buat masing-masing mata kuliah biasanya ada silabusnya, dan proses belajar mengajar nggak akan jauh-jauh dari situ (kecuali dapat dosen yang ajaib tapi itu lain cerita). Dari sisi kita, kita tinggal menyusun strategi untuk membagi waktu dan belajar dengan seefektif mungkin.

Agak berbeda dengan PhD, parameter keberhasilan akademik di sini agak blur. Misalnya kita gunakan analogi lomba lari untuk menggambarkan proses PhD, maka PhD adalah lari jarak jauh tanpa peta di mana kita juga nggak tahu harus berlari sejauh apa. Biasanya parameter keberhasilan S3 adalah output riset, yang berarti menerbitkan publikasi di jurnal internasional sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, topik apa yang layak untuk diteliti, pertanyaan apa yang harus kita ajukan dan bagaimana menjawabnya – semuanya harus kita susun sendiri.

Pada dasarnya riset PhD adalah proses mendorong batas ilmu pengetahuan manusia, karena itu nggak jarang bagi kita untuk merasa terdampar di tempat di mana kita nggak tahu kita ada di mana dan ke mana kita harus pergi. Akhirnya, nggak jarang orang merasa bego. Ini bisa jadi tantangan tersendiri buat ego individu, terutama buat orang-orang yang melabeli dirinya sendiri sebagai orang yang pintar – gw pribadi mengalaminya.

Berikut adalah sedikit saran yang bisa gw berikan kepada siapapun yang mungkin punya niatan untuk mengambil PhD, berdasarakan apa yang udah gw alami selama kurang lebih 5 tahun ngambil PhD dan 1.5 tahun riset sebagai postdoc.

1. Jangan dibawa personal, gagal itu biasa

Mungkin tips pertama dan paling penting, adalah jangan mengasosiasikan output PhD dengan identitas kita. Saat menjalani PhD, mudah bagi kita mengasosiasikan output PhD sebagai identitas karena sebagian besar waktu kita digunakan untuk riset. Akibatnya, kita menganggap sebagai cerminan diri kita. Jika riset gw bagus, tentu saja gw merasa bangga. Tapi ini juga bisa jadi bumerang, karena saat proses riset kegagalan bakal lebih sering terjadi.

Saat awal-awal memulai PhD di mana eksperimen gw sering gagal dan paper gw di-reject, gw pun menerjemahkan ini sebagai kegagalan personal. My project fails because I’m an idiot and a failure. Padahal ya setelah melihat ke belakang ya nggak juga. Proyek gagal ya biasa aja, namanya juga mencoba hal yang baru. Kalau nggak nyobain hal baru, ya risetnya nggak worth it.

Anyone who has never made a mistake has never tried anything new

Albert Einstein

Anggap saja gagal sebagai sebuah proses pembelajaran, dan fokus ke bagaimana menyikapi kegagalan. Coba jadikan ini bahan pembelajaran atau review – apa yang bisa gw lakukan dengan lebih baik dibanding sebelumnya? Apa yang sudah gw pelajari dari proses ini?

2. Fokus ke proses dan buat rutinitas

Riset PhD adalah sesuatu yang butuh waktu sangat lama sampai kita dapat feedback apakah yang kita kerjakan berhasil atau gagal. Yang lebih apes, biasanya kegagalan akan jauh lebih sering muncul dibandingkan dengan kesuksesan, karena memang itulah nature dari riset: jungkir balik dengan rentetan kegagalan, dan sesekali sukses.

Karena itulah, gw amat sangat menyarankan untuk fokus ke proses saja dibandingkan dengan terus menerus khawatir dengan hasil akhir dari research. Bagaimana kita mengatur proses sepenuhnya ada di bawah kendali kita, sementara hasil dari riset belum tentu bisa dikendalikan.

Ide yang menjadi inti dari buku Atomic Habits adalah perubahan besar dimulai dari hal-hal kecil. Apabila setiap hari kita jadi 1% lebih baik dari hari kemarin saja, maka dalam satu tahun kita sudah melakukan progress sebesar 1.01^365, yaitu sekitar 37 kali lipat. Ya, bahkan hanya dengan fokus ke hal-hal kecil saja, dalam jangka panjang kita bisa melihat progress yang signifikan.

printed sticky notes glued on board
Photo: Daria Nepriakhina, Unsplash

Kunci dari fokus ke hal-hal kecil ini adalah dengan membuat rutinitas yang bisa diimplementasikan setiap hari. Orang pada umumnya menganggap orang yang sukses konsisten menempa dirinya punya willpower dan motivasi yang kuat. Akan tetapi, ini salah. Pada kenyataannya, kunci dari konsistensi adalah rutinitas, di mana kita bahkan nggak butuh motivasi lagi untuk mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. Kapan terakhir kalian harus mengumpulkan motivasi untuk bisa gosok gigi dua kali sehari?

Dalam PhD, banyak rutinitas yang bisa diterapkan untuk membantu progress PhD. Gw pribadi saat ini rutin membuat jadwal rencana pekerjaan hari itu, membaca paper dan membuat rangkuman, serta membuat progress report mingguan. Selain rutinitas yang berkaitan langsung dengan research sendiri, gw juga mengimplementasikan rutinitas yang membantu mempertahankan well-being gw, misalnya olahraga rutin, meditasi, dan journaling.

3. Fokus ke small wins

Berkaitan dengan poin nomor 2, coba ganti fokus dari merayakan sukses besar di akhir proyek jadi merayakan kesuksesan-kesuksesan kecil yang didapat selama proses.

Berhasil dapat gambar SEM yang bagus? Baru saja belajar cara pakai alat baru? Congrats, give yourself a pat on the back! Merayakan kemenangan sekecil apapun bisa membantu mempertahankan level motivasi kita di level tingkat yang acceptable.

4. Cari hobi dan istirahat yang cukup

Merasakan stres selama menjalani PhD adalah sesuatu yang wajar. Akan tetapi, dengan terus menerus berada dalam kondisi stres, cepat atau lambat kita akan mengalami mental breakdown. Hal ini akan menjadi counterproductive, karena kita justru nggak akan bisa menghasilkan output riset yang bagus apabila kita nggak dalam kondisi yang baik.

Menekuni hobi yang kita lakukan murni hanya karena kita suka melakukannya bisa membantu meredakan level stres kita. Dan berkaitan dengan dua poin sebelumnya, ini juga bisa memberikan kita semacam sense of accomplishment sehingga kita nggak merasa diri kita butut-butut amat.

Selama PhD, dua hobi yang sering gw lakukan adalah fotografi dan mengexplore Saudi. Menjalani kedua hobi ini beneran kerasa manfaatnya membantu gw mempertahankan sanity gw, karena saat menjalani hobi ini gw bisa melepas pikiran gw dari masalah riset. Selain itu, ada rasa pencapaian sendiri saat gw berhasil jalan-jalan ke tempat yang nggak umum dikunjungi orang – visa wisata Saudi baru ada akhir-akhir ini – dan mendapatkan foto-foto yang menurut gw wallpaper-worthy.

Satu hal lain yang harus diperhatikan adalah istirahat yang cukup. Ada orang-orang yang entah kenapa bangga kalau mereka begadang dan nggak tidur demi mengerjakan tugas. Well, menurut gw ini aneh sih, karena saat kita kekurangan tidur kemampuan kognitif kita menurun, dan kita nggak akan bisa menghasilkan output yang bagus. Belum ditambah kesehatan yang memburuk kalau ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.

Di hari-hari tertentu memang sebagai PhD student kita harus menghabiskan waktu yang lama untuk eksperimen atau menulis paper, tapi jangan sampai jadi kebiasaan. Pastikan kerja keras juga diimbangi dengan istirahat yang cukup. Getting your PhD but losing your mental and physical health is just not worth it.

5. It’s ok to get help

Jujur, masa-masa PhD bagi gw pribadi adalah masa-masa yang sangat melelahkan dan stressful. Lembur dan kerja weekend bukan hal yang asing, dan ketidakjelasan tentang masa depan jadi beban tambahan tersendiri. Nggak ada yang menjamin bahwa usaha yang dimasukkan ke dalam research kita pasti jadi sesuatu yang layak publish – oke dalam hal ini gw sangat beruntung karena di akhir PhD gw alhamdulillah semuanya lancar, tapi 2-3 tahun pertama benar-benar mandek.

Saat itu gw pun stres berat, merasa bahwa PhD ini nggak ada artinya, dan ujung-ujungnya merasa gw sebagai manusia gagal karena nggak becus ngejalanin PhD. Waktu itu gw seriously considering to just find a job and quit this damn program.

Untungnya, waktu itu gw memutuskan untuk coba cari bantuan dengan ikutan konseling psikologis dari KAUST. Sebenarnya waktu itu gw agak malu ikut konseling seperti ini, karena gw merasa mungkin yang layak cari bantuan adalah mereka yang memang punya trauma atau luka psikologis – entah karena abuse atau kecelakaan masa kecil. Sementara gw datang dari keluarga ekonomi menengah bahagia yang nggak punya masalah apa-apa.

Tapi setelah sampai ke sini dan melihat ke belakang, gw sadar bahwa tiap orang punya ambang batasnya masing-masing. Bisa jadi orang lain melihat suatu masalah sebagai masalah yang sepele, tapi bagi otak orang yang mengalami masalah itu tetap di-recognize sebagai suatu luka yang serius. Nggak ada gunanya membanding-bandingkan masalah satu orang ke orang lain. Jangan karena merasa masalah kita terlalu sepele terus kita nggak mencoba untuk mencari pertolongan dari orang lain.

Proses konselingnya sendiri sih kurang lebih lebih seperti ngobrol jujur tentang masalah yang gw alami dan tiap sesi gw melakukan latihan mindfulness. Singkat cerita gw nggak paham betul bagaimana sesi ini membantu gw dalam mengurangi anxiety dan stress, tapi pada akhirnya gw berhenti konseling setelah gw merasa level stress gw ada di taraf yang manageable.


Mungkin itu sedikit sharing tentang hal-hal yang gw alami selama jadi mahasiswa PhD, dan 6 poin di atas adalah hal yang mungkin akan gw sampaikan ke diri gw sendiri saat gw mulai menjalain prosesnya. Tentu saja list ini sangat anecdotal, dan mungkin nggak berlaku buat orang lain yang membaca tulisan ini.

Tulisan ini pada dasarnya juga dibuat sebagai proses gw melihat ke belakang dan mengevaluasi apa yang udah gw lalui dari perpsektif orang luar, apa yang berhasil, apa yang gagal, dan semua yang harus disyukuri. Apakah semua kesulitan yang gw dapat selama PhD worth it? Absolutely. Apakah gw mau melewati proses PhD lagi? Nope, cukup sekali saja (tapi malah ngambil postdoc).

KAUST dan interview

Page dari anak-anak Indonesia di KAUST, KAUST-INA, pernah memposting pertanyaan ke follower page tersebut: misalnya kalian sedang wawancara admission KAUST dengan HR dan ditanya apa alasan kalian memilih KAUST, bukan universitas di US, apa jawaban kalian? Follower-follower page tersebut pun memberikan jawaban. Ada satu dua jawaban yang bagus, tapi sebagian besar kurang lebih seperti ini: “Ingin bisa pergi umroh, karena lebih nyaman dengan Saudi yang Islami, karena tanah suci, nggak cocok dengan US yang liberal”, dan jawaban-jawaban lain yang kurang lebih senada. Sekarang, alasan pribadi seperti ini sih jelas sah-sah saja, tapi apa kalian yakin mau ngomong seperti itu ke interviewer?

Sekarang begini loh, interview itu kan menyesuaikan antara apa yang diinginkan oleh interviewer dan kandidat mahasiswa KAUST. Sekarang coba kita lihat posisi KAUST saat ini:

  1. Ini adalah kampus yang iklimnya lebih kebarat-baratan. Mesjid di kampus memang ada, Mekkah Cuma 1.5 jam perjalanan, tapi karena banyaknya jumlah mahasiswa asing, maka iklim kehidupan dalam kampus bukan kehidupan islami banget seperti yang dibayangkan beberapa orang. Kalau bisa gue bilang, kurang lebih seperti Jakarta. Bebas, tapi tetap ada batasan nggak sampai seperti kehidupan di US misalnya. Kalau kalian mengharapkan iklim konservatif seperti pria dan wanita dipisah dan semua wanita menggunakan abaya ya sorry to burst your bubble.
  2. KAUST sedang berusaha menaikkan pamornya. Ini berarti KAUST butuh orang yang bisa berkontribusi di bidang riset – tentu saja artinya punya potensi akademik yang tinggi. Selain itu, setelah si mahasiswa lulus, berarti dia akan membawa nama KAUST sebagai salah satu alumninya. Diharapkan si mahasiswa ini akan mendapatkan posisi bergengsi setelah lulus, berkontribusi besar bagi masyarakat, dan turut mengharumkan nama KAUST. Intinya dia harus punya visi yang bagus setelah lulus. Maklum lah, secara kasar investasi KAUST di tiap mahasiswanya bisa mencapai beberap Milyar Rupiah, sudah sewajarnya kan si mahasiswa berkontribusi kembali ke masyarakat?

Nah kembalike alasan yang umum disampaikan orang di atas. Kira-kira misalnya saya jadi si interviewer, apa kesan saya bila saya mendengar alasan di atas? Alasan-alasan di atas lebih terdengar seperti: “Tolong masukkan saya ke KAUST karena saya ingin masuk KAUST.”

  1. “Karena bisa umroh” – Kalau begitu nggak usah di KAUST kan? Universitas lain di Saudi juga ada. Jangan-jangan motivasi ke KAUST hanya untuk umroh dan haji – setelah kebagian haji terus terbang entah ke mana? Ini mirip dengan orang-orang yang ingin kuliah ke Korea karena senang nonton drama Korea. Berkesempatan pergi umroh tentu bagus untuk mahasiswa muslim, tapi untuk KAUST sendiri nggak ada keuntungan langsung. Makanya untuk mahasiswa asing sampai saat ini salah satu porsi terbesarnya adalah dari Cina, karena mereka sangat produktif dalam riset. Keshalehan tidak jadi pertimbangan tim interview ya.
  2. “US terlalu liberal” – Dan KAUST juga jauh lebih liberal dari Saudi. KAUST mencari orang yang bisa berbaur dan berkontribusi dengan warga asing lainnya. Karena itulah ada bagian community life dan arts office. Kita bisa berkontribusi dengan ikut self directed grup, ikut volunteer, atau cukup dengan jadi warga yang baik. Di lab pun kita harus bekerja dengan orang-orang yang datang dari seluruh penjuru dunia, dan nggak jarang latar belakang budaya dan nilai yang kita anut dengan mereka jauh berbeda. Jangan malah ketika sudah masuk ke sini terus jadi culture shock dan bikin keributan. Misalnya, karena KAUST terlalu liberal terus complain di social media. Jangan. Kalau kondisi iklim liberal US bikin kalian ragu, bisa jadi interviewer akan beranggapan kalian nggak bisa beradaptasi dengan kondisi majemuk KAUST.

Kebayang kan, misalnya interview dijawab dengan jawaban di atas, kita nggak memaparkan kontribusi macam apa yang bisa kita berikan dengan kuliah di KAUST. Gue sendiri udah nggak terlalu ingat interview gue, tapi menurut gue alur jawaban yang tepat adalah:

“Saya menggeluti bidang A, dari bidang A ini saya punya cita-cita untuk mencapai B. Saya lihat di KAUST ada prof C yang risetnya sejalan dengan saya, dan beliau setuju menampung saya (harus udah punya prof dulu biar bargaining powernya lebih bagus!). Selain itu, fasilitas D, E, F (ini PR ya cari fasilitas yang relevan dan kalau bisa cuma KAUST yang punya) di KAUST akan sangat membantu riset saya.”

Jawaban di atas bisa ditambah dengan bumbu macam-macam lagi, misalnya:

  1. Lingkungan KAUST yang majemuk menyiapkan berkarir di dunia internasional. (Menyinggung karir setelah lulus itu bagus, karena semakin bagus karir kita setelah lulus nanti, makin terangkat juga nama KAUST. Ini juga salah satu alasan pada umumnya mahasiswa lulusan KAUST tidak dianjurkan mengambil postdoc di KAUST, supaya menyebar ke luar sana.)
  2. Kesempatan bagus untuk berkarir di dalam Saudi, karena Saudi sedang dalam transisi ke knowledge-based economy dan mulai banyak perusahaan yang menjalin kerja sama dengan KAUST (ini PR ya, cari yang pas dengan bidang)
  3. Program entrepreneurship di KAUST yang membantu untuk mendirikan startup.
  4. Karena KAUST sedang berkembang pesat jadi ini kesempatan berkontribusi.

Begitulah menurut gue. Sekali lagi, coba pikirkan bagaimana selama interview kita bisa meyakinkan interviewer bahwa dengan menerima kita, KAUST akan mendapatkan keuntungan yang sebanding dengan investasi yang ditanamkan pada kita. Bukan cuma karena masuk KAUST akan membuat kita senang.

Cara masuk KAUST

Berhubung sering ada yang nanya gimana caranya daftar KAUST, padahal kalau mau ke websitenya terus klik klik dikit langsung keliatan, sekalian aja gw tulis persyaratannya di sini beserta terjemahannya (meskipun kalau butuh terjemahan cuman buat ngerti cara daftar ke KAUST, gw ga paham gimana entar kalo harus baca paper).

Yang harus kalian lakukan adalah ke website KAUST dan lakukan pendaftaran online. Dokumen yang kalian butuhkan:

  1. Hasil tes TOEFL IBT/ IELTS. Buat IBT cukup 79 aja. IELTS minimal 6. GRE gak butuh tapi bisa menunjang.
  2. Transkrip dalam bahasa inggris, dikirim online.
  3. Surat rekomendasi x3, diisi via online.
  4. CV

Oh dan KAUST adalah King Abullah University of Science and Technology dan seperti namanya cuma punya jurusan IPA:

  • Electrical engineering (surprisingly, belom ada arus kuat di KAUST meskipun energi merupakan salah satu fokus utama di Saudi)
  • Computer science
  • Applied math
  • Earth science and engineering
  • Material science and engineering
  • Chemical science
  • Chemical and biological engineering
  • Mechanical engineering
  • Environmental science and engineering
  • Plant science
  • Bioscience
  • Marine science

jadi kalau kalian tadinya belajar ekonomi atau kebidanan, mungkin ini bukan universitas yang tepat untuk melanjutkan sekolah yah.

Oh dan hampir lupa! Waktu kalian bikin personal statement tentang kenapa kalian ingin ke KAUST dan waktu interview, jangan bilang kalau kalian daftar karena ingin bisa Umroh/Haji. That’s a big no-no! Selain karena itu berarti kalian gak serius daftar karena pengen belajar, KAUST adalah komunitas internasional (bener-bener beda dengan di luar tembok sana) dan mereka kelihatannya gak terlalu ingin menerima kandidat yang terlalu religius, karena dikhawatirkan gak bakalan cocok dengan culture di dalem tembok sini.

Terus beasiswanya gimana? Semua mahasiswa yang diterima bakal dapet beasiswa sebesar 20000 USD per tahun untuk mahasiswa master, 25000 USD per tahun untuk PhD, dan 30000 USD per tahun untuk mahasiswa PhD yang udah beres qualifier dan memenuhi persyaratan mata kuliah PhD. FYI sebulan gw cuma abis paling 500 USD karena rumah, asuransi, dan tuition gak bayar, jadi ini kesempatan super bagus buat nabung.

“Terus, kira-kira saya bisa diterima nggak?”

Kalau ini sih jangan tanya ke gw, berhubung gw bukan bagian dari admission team. Tapi untuk gambaran seperti apa orang yang dicari KAUST, waktu itu PI gw ngomong gini ke gw:

You’re lucky because you did your undergrad and master in really good universities.

FYI gw lulus dari ITB dan Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) yang bisa dibilang salah satu universitas top di Korea (tentunya Selatan). Jadi ya suka nggak suka universitas tempat kalian lulus akan jadi salah satu hal yang pertama dilihat. Beneran. Salah satu temen gw daftar ke electrical engineering buat tahun depan dan gw pun basa-basi pas ketemu profesor calon PI nya dia. Si prof cocok dengan si temen ini, dan dia pun menanyakan beberapa hal ke gw karena gw bilang gw classmate sama dia:

  • How good is ITB? How is the admission process? How many applied and how many got accepted each year?
  • Is your friend on top of the class?

Kata si prof tersebut ini penting supaya dia nanti bisa meyakinkan admission team. Berhubung gw emang memandang tinggi si temen gw ini, ya tentu saja gw bisa dengan yakin bilang kalo dia emang bagus secara akademik dan riset. Ini sekedar gambaran bahwa KAUST beneran nyari orang-orang dari universitas bagus dengan IPK tinggi. Yaa, emang sih IPK ga menentukan keberhasilan, tapi sekali lagi suka gak suka itu akan jadi salah satu filter pertama bagi pihak universitas untuk menyaring kandidat. Dan waktu itu pun gw pernah nanya tentang anak yang daftar ke salah satu profesor, tapi katanya karena IPKnya gak terlalu tinggi dan universitasnya pun bukan universitas top, jadi si prof pun gak mengencouragenya untuk lanjut.

Did I scare you? Tapi pikir aja kayak gini, kalau dengan tulisan gw aja kalian langsung ciut maka kalian gak akan survive ngambil PhD.

Shift in Research

When I graduated from my master program, I decided to not pursue a PhD for a while (although soon enough I had to swallow back my words), and even if I’m going to pursue my PhD, I’m not going to do it in the same field. Guess I just got sick of doing nothing but staring at CST all day long. I mean, basically I could just run my simulation from my phone while having fun somewhere in Seoul. In addition, the field of microwave, antennas, and propagation is getting saturated. I haven’t seen anything really new or groundbreaking for a while – I think I mentioned it somewhere before that this field reached its peak of growth during the world war where everyone needs radar. On the other hand, most universities in the world is going nano, where they fabricate device in the nanoscale. So, I decided to drop this one and go to device fabrications

Although you can’t deny that the anechoic chamber looks freaking awesome

Luckily, one thing led to another, and my current PI accepted me as a PhD student into his photonics lab at KAUST. It’s called photonics, but currently it focuses on semiconductor LED and lasers. Most of the things done here are based on active devices, which is totally new to me. I had to catch up by studying principles of semiconductors and fabrication technologies real hard with my previous knowledge about telecommunication and propagation almost unusable here (it might have gone easier had I opted for passive device structures). Yes, it is hard work, but it is real fun. Oh, and this is a really good chance for me to use KAUST’s class 100 clean room facility, and it will be a really useful knowledge for my future career.

The past three weeks have been really interesting and challenging. I learned a lot about things related to material science (an interesting note is that material science is not a popular major in Indonesia, while on the other hand it’s one of the hottest fields in developed countries as it enables the capability of building new devices), device fabrication in the cleanroom, semiconductor, measurement and characterization techniques, and chemistry. One of the major advantage of studying here at KAUST compared to KAIST is that you can easily discuss about anything with anyone using english. One of my major pain when studying at KAIST was that it’s hard to have a discussion with Korean students, so this one is a really big plus for me.

So, some pics of the stuffs I’m doing here:

Our group’s molecular beam epitaxy machine, used to grow high quality single crystal structures
Me in the cleanroom, tagging along with another student who’s fabricating LED
Trying to learn how to use the X-ray diffraction machine in order to characterize materials
Studying at the library by the sea
Taking a night stroll at the campus
…and golf!

KAUST

Oke, judul dari artikel ini bukan typo tadinyamau nulis KAIST tapi terus kepencet huruf U. Tapi beneran ini adalah tentang universitas bernama King Abdullah University of Science and Technology. Yang ada di arab saudi. Oke, awalnya gw sendiri pun skeptis tentang sebuah universitas yang ada di arab saudi. Tapi setelah baca-baca lebih detail tentang universitasnya, tentang kelas dan dosen-dosennya, tentang pencapaiannya yang luar biasa dalam cuma dalam 5 tahun setelah berdiri, dan tentunya setelah dapet offer letter untuk program PhD, gw pun memutuskan untuk mencoba mengambil PhD degree di sini.

Kalau soal sejarahnya secara baku sih mendingan langsung lihat ke kaustina.org saja ya. Tapi di sini gw akan menceritakan pengalaman pribadi gw aja sejak menginjakkan kaki di KAUST (sebenernya pengen cerita dari sejak mendarat di arab saudi, tapi itu lain kali aja). Hal pertama yang gw liat adalah: kampusnya guede bangettt! Ini pertama kalinya gw masuk ke kampus yang selain punya kompleks universitas, punya housing dalam kampus yang luar biasa banyak, punya supermarket, punya lapangan golf, marina, fasilitas snorkeling, dan pusat rekreasi lengkap dengan arena bowling. Buat yang pernah cari info soal arab saudi, mungkin kalian tahu bahwa di arab saudi banyak compound-compound atau komples tertutup, misalnya punya Aramco, di mana di dalamnya bener-bener beda dengan keadaan di luar. Kalau di luar kompleks arab saudi adalah negara yang sangat strict dengan peraturan seperti misalnya penggunaan abaya dan bahwa laki-laki dan perempuan non-muhrim gak boleh duduk barengan di restoran, maka di dalam kampus orang-orang bebas berpakaian (meskipun tetap ada batas wajar pastinya) dan beraktifitas. Kalau di luar wanita gak boleh naik sepeda, di dalam kampus boleh. Begitulah.

Housingnya juga nggak tanggung-tanggung. Selain gratis, ini juga bener-bener bagus. Gw dapet housing lengkap dengan living room, dapur, kamar mandi dalam, shower, dan bathtub. Holisyit, hotel aja belom tentu dapet yang kayak gini.

Tapi tentu aja kan yang namanya universitas, yang penting adalah riset dan kegiatan perkuliahannya? Itu akan gw post lain kali heheh, karena postingan kali ini masih buat pemanasan soal KAUST.