Why I moved from Sweden to Ireland

It’s been about three months since I moved from Sweden to Ireland. So far, it has been quite a roller coaster ride, starting from visa application, searching for accommodation, and settling in as a resident in Ireland. Now, the first question that may pop up would be: why the move? Do I not like Sweden? Is Ireland much better than Sweden in terms of life quality?

Push factors

Do I like Sweden? Oh very, very much. In terms of life quality, it’s amazing. The level of support that we get in terms of healthcare, childcare, and education made us feel that every single cent of our the tax that we paid the government was worth it. The nature is amazing, the air is clean, and it’s very easy to go anywhere with bike and public transport. It’s very child friendly, and very easy to find playgrounds in residential areas. I can easily see myself getting a Swedish citizenship and retire quietly in Sweden.

So if I like Sweden so much, why did I end up moving?

Short answer: little to no chance of staying in Sweden long-term if I continue with my postdoc position there. Considering the long-term career prospect, it’s hard to say whether staying as a postdoc in Sweden would help me secure a long-term permanent job or not.

The research topic that I worked on at LiU leaned too much towards basic science with a relatively low technological readiness level. Furthermore, my division back then has more to do with coating instead of semiconductors, meaning that any industry that might have a link with my division is outside of both my skillset and area of interest.

As someone who only have a two-years contract without any assurance for extension, it’s hard to justify working on a project that may not give either industry-relevant skill sets or industry connections. I can try to maybe extend my contract for another year, but without a permanent residence permit it would turn into a real mess towards the end of my contract, where I have neither skills nor connections.

Pull factors

So, why Ireland? Again, the main consideration is career capital.

Tyndall National Institute, as a research institute, has strong ties with the industry. Starting from the material epitaxy level to the system level, many of the research topics are closely connected to industrial projects. As a result, most of the research topics will lead to skill sets that are highly valued by the industry. Plus, as an engineering graduate it gives me more satisfaction knowing that I’m working on something with high technological readiness level with a more concrete impact for society.

Working with industry-related projects also mean that it’s posible for me to find links to the industry. Realistically speaking, obtaining a stable, long-term career in academia is very challenging with the number of PhD graduates around and limited openings (I’m always under the impression that PhD graduates are a dime a dozen – but maybe that’s because I’m always surrounded by PhD holders). Therefore, going to the industry is an attractive alternative for a better pay rate, long-term career prospect, and transferrable skills.

Another thing that is not entirely related to me: it’s an english-speaking country, meaning it’s easier for my wife to find a job here in Ireland. Back then in Sweden, language becomes an important barrier in finding a job even though she’s a degree holder with several years of work experience. It’s also a good chance for our son to learn english, as we believe that it will be easier for us to help him with school if he’s taught in english.

So, will I stay long-term in Ireland?

At this point, I cannot say. The work in Tyndall Research Institute is fun. There are companies in Ireland that would employ someone with skills in photonics like me, which would be a great way to continue my career once my postdoc contract is up. On the other hand, with the current housing crisis in Ireland (this deserves a separate post), the car-centric development, lack of good public transport and cycling path, and lack of child-friendly facilities, I still have my own reservation about whether to settle down here or not. Oh and as a holder of the Indonesian passport, the fact that Ireland is out of Schengen area severely limits our travelling options. There is the option of obtaining Irish citizenship, but that will take at least five to six years.

Only time will tell, as I know that within two years I will be a different person compared to who I am right now.

Pengangguran lyfe

Dalam rangka mempersiapkan acara pindahan dari Swedia ke Irlandia, gw pun melakukan serentetan hal yang harus dilakukan: stop lease apartemen, ngirim barang-barang ke Irlandia, stop enrolment anak di sekolah, dan resign dari kerjaan di LiU. Awalnya gw memperhitungkan bahwa di akhir Mei visa- visa Irlandia gw sudah kelar (Irlandia bukan bagian dari Schengen, blame UK) – akan tetapi sayangnya karena acara lockdown serius di Irlandia proses pembuatan visa gw sekeluarga tertunda hingga saat ini. Walhasil saat ini gw sedang dalam posisi di mana gw jadi pengangguran dan tinggal di akomodasi sementara dengan barang-barang secukupnya.

Seminggu setelah pindah ke serviced apartment yang letaknya agak di pinggiran kota, gw sekarang jadi punya waktu luang yang sangat-sangat banyak. Karena sepeda gw juga udah dikirim ke Irlandia, opsi gw menanti visa di musim panas ini jadi lumayan terbatas.

Terus apa yang gw kerjakan sehari-hari? Karena anak udah cabut dari förskola, hari-hari gw jadi berputar antara menghibur anak (yang mayoritas cuma di dalam kamar hotel karena hotelnya 20 menit jalan dari kota), mainan hape, nonton TV, dan mencoba produktif dengan baca beberapa buku. Olahraga belom gw lakukan karena gw masih beresin puasa syawal yang agak tertunda selama proses pindahan rumah.

Apapun yang gw kerjakan di periode ini, gw memutuskan untuk bisa menggunakannya semaksimal mungkin buat self-development karena setelah pindah ke Irlandia pun gw harus karantina 2 minggu, yang berarti kondisinya akan lumayan mirip.

Mau dibawa ke mana?

Makin banyak opsi yang tersedia buat manusia, biasanya akan makin sulit buat manusia mengambil keputusan. Di sinilah penting untuk punya clarity, apa self-improvement yang mau dicapai dan bagaimana gw akan mencoba mengimplementasikan habit yang bisa gw gunakan untuk mencapai target itu.

favorite disney movie! | Alice and wonderland quotes, Wonderland quotes,  Senior quotes

Hal paling dasar yang bisa gw lakukan untuk mendapatkan sedikit clarity of purpose di masa-masa pengangguran ini adalah dengan melakukan journaling singkat tiap hari. Poin-poin yang akan gw tulis simpel aja: mau jadi orang seperti apa hari ini? Apa yang gw rasakan hari ini? What went well, and what can be improved? Simpel, tapi dengan menulis di jurnal gw memaksa diri gw untuk berpikir dengan lebih pelan dan terarah, tanpa noise. Dari sini gw dapat gambaran hal apa yang mau gw capai hari ini.

Saat ini gw memutuskan bahwa selama nganggur dan isolasi nanti, gw ingin fokus untuk menambah wawasan dengan baca buku minimal satu jam sehari, tetap menjaga kondisi fisik dengan rutin main Ring Fit minimal dua hari sekali, dan dari sisi spiritual gw ingin baca Quran saat akan tidur dan baru bangun tidur. Dari segi hard skill, gw ingin menambah skill programming gw dengan ngambil kelas 100 days Python boot camp.

Feedback secara objektif

Tentunya gw ingin supaya tiap hari kegiatan produktif gw lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan main yang sifatnya lebih counter-productive. Akan tetapi, so far gw menilai ini cuma pakai feeling, dan antara perasaan dengan apa yang terjadi sebenarnya biasanya nggak sepenuhnya sinkron karena bias dalam ngasih penilaian. Supaya bisa lebih objektif, gw pun menginstall app StayFree di hape untuk melakukan tracking, sebenarnya seberapa banyak sih screen time gw tiap hari selama menganggur ini? Palingan sekitar dua jam kan ya? Dan ternyata..

Oh my, selama nganggur ini gw menghabiskan terlalu banyak waktu mainan hape, dan dari app breakdown kelihatannya paling banyak dihabiskan dengan mainan Reddit. Runner up nya adalah Google Chrome, yang sebagian besar dikarenakan keseringan membaca lore Warhammer 40K (to be fair it’s super interesting).

Lumayan sobering, melihat seberapa banyak waktu gw dalam satu hari terbuang sia-sia buat hal yang nggak produktif. Bayangkan aja, misalnya alokasi waktu itu gw fokuskan untuk hal yang lebih esensial dan lebih searah dengan apa yang mau gw capai, mungkin gw bisa mencapai jauh lebih banyak. Biasanya dalam sehari-hari kita bukannya nggak punya waktu, tapi mungkin kurang pandai aja dalam planning dan alokasi waktu sehari.

Ingat, we are our habits, yang berarti apa yang selalu kita kerjakan tiap hari akan membentuk siapa kita. Misalnya tiap hari gw menghabiskan waktu untuk belajar programming, maka gw akan menjadi seorang programmer. Akan tetapi, misalnya tiap hari waktu gw habis untuk nongkrongin Reddit, ya gw otomatis akan jadi redditor handal – yang bisa dibilang nggak bisa dibanggakan dan nggak sesuai dengan apa yang ingin gw capai.


Terus, bagaimana caranya supaya kita nggak terus-terusan buang-buang waktu melakukan kegiatan yang nggak produktif dan bisa mencapai target self-development plan kita?

Budgeting

Yang pertama, adalah planning ke depannya dalam satu hari kita mau ngapain. Misalnya kita udah punya gambaran biasanya jadwal kita dalam satu hari seperti apa, maka mestinya kita udah bisa merencanakan secara garis besar bagaimana bentuk hari kita, termasuk dengan halangan-halangan yang ada di dalamnya. Jangan berharap misalnya di hari biasa banyak halangan, terus tiba-tiba hari ini semuanya berjalan lancar tanpa halangan dan semesta sepenuhnya mendukung aktivitas kita.

Cara paling mudah dalam planning adalah dengan menggunakan kalender harian, di mana jadwal kegiatan kita bisa diplanning sampai ke level jam. Bahkan untuk Google calendar, kita bisa melakukan planning dengan increment 15 menit. Hal ini berguna karena dua hal: 1. Biasanya aplikasi kalendar sudah punya built-in notification, sehingga apabila sudah tibanya jam untuk mengerjakan aktivitas yang kita rencanakan otomatis kita akan dapat notifikasi. Ini jadi cue buat kita untuk mulai bekerja, jadi nggak usah pakai feeling kalau kayaknya kira-kira mood kita udah bagus buat kerja nih. 2. Kita jadi dapat gambaran secara jelas semua aktivitas yang kita rencanakan itu kira-kira akan makan waktu berapa lama, dan apa ada waktu kosong yang tersisa.

Ini semacam budgeting, tapi untuk waktu. Dalam budgeting keuangan, gw biasanya udah mengalokasikan gaji gw pertama buat hal-hal yang penting seperti bayar sewa apartemen dan belanja, dan dari sisa yang ada baru gw alokasikan buat kebutuhan tersier seperti jalan-jalan atau beli game. Karena semuanya sudah dialokasikan, jadinya gw bisa spend uang tanpa merasa bersalah karena tahu bahwa toh sudah masuk budget. Begitu juga dengan menggunakan waktu. Kalau semua target aktivitas hari itu sudah terpenuhi, ya kenapa mesti bersalah kalau mau nonton Netflix 2 jam?

If-then

Yang kedua adalah dari awal mempersiapkan alternatif apa yang bisa lakukan misalnya best case scenario kita tidak tercapai.

Dalam menghadapi hari, pasti ada saja halangan-halangan yang ada. Seperti yang udah gw sebutkan di atas, berharap halangan nggak muncul atau hilang dengan sendirinya itu nggak bisa dijadikan strategi. Maka dari itu, solusi paling gampang adalah dengan menggunakan if-then, apabila kita menghadapi satu hal kita sudah siap dengan strategi apa yang harus kita lakukan.

Di kamar hotel yang kecil ini, halangan terbesar gw selama menganggur adalah (maaf yak) anak gw sendiri. Sebagai seorang balita, it’s a given bahwa setiap kali dia bangun dia bakalan berusaha untuk minta perhatian dari kedua orang tuanya. Alhasil, akan susah bagi gw untuk melakukan deep work apabila dia sedang bangun.

Solusinya? Gw udah punya gambaran tentang kapan anak gw kira-kira akan tidur. Dari situ, di awal hari gw juga udah bisa berencana task mana yang butuh konsentrasi lebih tinggi. Dengan menggunakan conditional, gw tahu bahwa misalnya anak gw akan tidur jam 2 siang maka gw akan mulai blogging pada saat itu. Apabila ternyata anak gw nggak tidur, maka gw juga sudah menyiapkan alternatif kerjaan apa lagi yang bisa gw lakukan yang kira-kira gak butuh terlalu banyak konsentrasi, misalnya cuci piring atau beres-beres kamar.


Dengan planning yang bagus dan realistis, kondisi semi menganggur pun bukan halangan untuk menjadi produktif dan terus mengembangkan diri. Tentu saja dalam kondisi ini banyak godaan untuk murni cuma bersenang-senang dan mengerjakan hal-hal yang kurang produktif. Karena itu, bagi gw pun ini masih sebuah proses dan butuh disiplin untuk benar-benar mengimplementasikan apa yang gw tulis sehingga gw bisa memaksimalkan waktu jeda sambil menunggu start kerja ini.

Spring is here

After surviving the weird April weather in Sweden, hopefully this time spring is really here to stay! With the wild flowers blooming everywhere, I decided to grab my Minolta macro lens and start shooting some close up pictures of flowers.

I really enjoyed the bokeh of this lens! The 100 mm focal length helped me to separate the subject flowers and the background. Shooting macro photography can feel quite zen-like, as I have all the time I need to capture pictures of my subjects. I just sat there on the ground and spent maybe around 15 minutes in a single area, trying different angles for the flowers.

It’s still Ramadhan, so it’s quite hard for me to go out and about shooting pictures when I need to fast for well over 18 hours. Hopefully I can take more picture in the coming days when passing the public parks and forests.

Apakah kamu sibuk?

“Gimana, tadi sibuk nggak di kantor?”

Ini adalah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh istri gw saat gw baru pulang dari kantor. Hmm, sebenarnya gimana ya menjawab pertanyaan ini? Sebagai orang yang kerja di riset bidang material, sebenarnya perkara sibuk apa enggak itu di kantor itu agak susah dijawab sih.

Sekarang coba kita definisikan dulu, sibuk itu apa. Apakah itu berarti mental resource kita sudah habis terpakai untuk mengerjakan tugas kita di kantor? Atau sibuk itu berarti kita nggak punya cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan kita?

Masalah kesibukan ini sebenarnya tergantung pada fasa kerjaan gw. Buat yang nggak tahu, sebagai seorang early career researcher biasanya kerjaan gw meliputi eksperimen + pengukuran, mengolah data, baca paper, nulis artikel, dan hal-hal administratif lainnya.

Apabila fase kerjaan gw sedang fokus di bagian eksperimen, maka definisi sibuk akan agak ambigu karena meskipun gw mungkin kerja seharian, waktu di mana gw beneran harus berpikir hanya 10-20% dari total waktu kerja. Berdasarkan pengalaman, berbeda dengan misalnya programming atau mengolah data, bottleneck eksperimen di riset bidang material seringkali bukan di effort kita sendiri – di mana kalau kita mau kerja lebih lama maka pekerjaan bakal lebih cepat beres. Di bidang ini seringkali yang jadi bottleneck adalah faktor-faktor eksternal.

Bottleneck pertama adalah menunggu proses eksperimen kita sendiri, karena banyak hal-hal yang memang nggak bisa dibikin lebih cepat atau dipush dalam riset. Sebagai contoh, dalam menggunakan sistem ultra high vacuum maka gw harus menunggu sistemnya dipompa dalam waktu yang lama. Contoh lain, misalnya gw sedang melakukan deposisi material untuk crystal growth, prosesnya memakan waktu sekitar satu jam. Di sini pun sebenarnya prosesnya berjalan otomatis selama satu jam dan gw cuma harus mensupervisi prosesnya dari waktu ke waktu untuk memastikan semua berjalan lancar.

Di dalam proses ini pun ada masalah lain, yaitu apabila prosesnya relatif singkat tapi repetitif. Apabila gw menjalankan proses dengan durasi selama setengah jam atau lebih, maka akan sangat mudah bagi gw untuk switch fokus dan mengerjakan hal lain saja, entah misalnya baca paper atau blogging. Sebaliknya, jika prosesnya hanya memakan 5 menit tapi tiap 5 menit gw harus meng-adjust alat, maka waktunya terlalu singkat untuk jadi produktif dan mengerjakan hal lain, tapi cukup panjang buat bikin bosan. Contohnya saat gw menggunakan focused ion beam, di mana tiap 5 menit gw harus menyetel alat untuk membuat pola yang berbeda dan dilanjutkan dengan menunggu sampai pola yang gw desain selesai ditulis.

Pew pew I’m writing tiny patterns on my sample surface using gallium ion beams

Faktor lain yang juga mempengaruhi jadwal kesibukan gw adalah ketersediaan alat pengukuran. Karena dalam riset material banyak alat milik bersama, tiap pengguna alat harus melakukan booking terlebih dahulu sebelum bisa menggunakan alat. Kadang ada aja periode di mana alat yang gw butuhkan beneran fully booked, sehingga gw nggak bisa langsung melakukan eksperimen saat itu juga dan harus menunggu sampai ada slot waktu yang kosong. Dan ada saja saat-saat di mana alatnya rusak dan harus dibenerin dulu, nothing I can do about it. Hari-hari seperti ini beneran ngebosenin karena kadang eksperimen yang harus dilakukan udah selesai dan untuk lanjut ke fase berikutnya gw harus melakukan pengukuran terlebih dahulu.

Menariknya, berlawanan dengan saat eksperimen, gw justru harus 100% fokus saat sedang kerja di meja (simulasi nggak dihitung karena bottlecknya adalah lama simulasi). Di sini yang jadi bottleneck ya beneran seberapa cepat kita bisa mengolah informasi dan menulis, karena nggak ada proses yang harus ditunggu. Apabila gw sedang dalam tahap nulis paper atau proposal, gw bisa bilang bahwa gw beneran sibuk karena 100% waktu kerja gw beneran dipakai mikir.

Masalah bottleneck dan kesibukan ini jadi tantangan tersendiri, karena gw harus pintar-pintar memanage waktu dan merencanakan proyek untuk memastikan proyek riset gw berjalan lancar dan nggak kepentok hal-hal seperti ketersediaan alat dan juga membuat backup plan untuk hal-hal nggak terduga, misalnya anak master yang ngejatohin sampel di dalam vacuum chamber sehingga gw harus buka chamber dua kali dalam dua minggu.

Sampai saat ini gw masih belajar bagaimana memanage waktu dengan baik, dan seiring bertambahnya tanggung jawab di masa depan gw yakin gw harus bisa lebih baik lagi.

On how we look back on our memories

The book Thinking, Fast and Slow by Daniel Kahneman is one of the most fascinating books I’ve read recently, as it touches on how the human mind is not as rational as we would like it to be and discussed several thinking models which gives rise to these cognitive dissonances. In this book, there are several modes for explaining the dichotomy of the human mind: system I vs system II, econ vs humans, and experiencing vs remembering self. In the spirit of learning from past experience, I want to touch on the experiencing vs remembering self in this writing.

The experiencing self is quite self-explanatory, as it is how we think about the experience as they happen to us. If you are asked to immerse yourself in cold water and to rate your discomfort in one minute interval, then that is the experiencing self. The remembering self, on the other hand, is used when we look back at our experience. It is how we look back at the experience of staying in the cold water after we get out and dry ourself. This side of the mind apparently pays more attention to certain aspects of our memory instead of treating it objectively.

Photo by Jon Tyson on Unsplash

When we are faced with decision making, we look back at our past experience to decide what would be the best course of action we can take. We typically look at things from a reward and punishment perspective: how can we make our decision so that we minimize discomfort and maximize reward. However, as mentioned above, humans are not truly rational due to the way the remembering self works.

If we solely rely on our experiencing self, then the overall value of our past experience would be the summation of the score throughout the duration of our experience. Consider these two examples:

A. Jane Doe lived for 65 years. She lived an affluent life and throughout her life she never had any financial issues.

B. Jane Doe lived for 70 years. For 65 years she lived an affluent life and throughout her life she never had any financial issues . However, during the last five years of her life a recession occurred and she had to cut back spending and live a frugal life.

Objectively speaking, if life experience can be put into a score of 1-10 , then example B is better than example A because Jane has the exact same 65 years as example A with an additional five years of life added, resulting in a higher score. However, we tend to believe that example A is better than example B because we put more emphasis towards the end of Jane’s life.

Back to the cold water example, consider the following case:

A. We are immersed in cold water for 5 minutes

B. We are immersed in cold water for 5 minutes, but we get an additional 2 minutes where the water temperature is gradually raised into a more comfortable range

Although option B is objectively worse as we stayed longer within the cold water, we tend to look at option B more favorably as it has a “good ending”.

This is where our cognitive dissonance comes from. Instead of putting uniform weight throughout the duration of the experience, the remembering self focuses on the extreme value of the experience and put more weight towards the end of the experience.

How we really evaluate our experience

While we would like to think of ourselves as rational human beings who put more emphasis in the experiencing self, in reality the remembering self is the dominant part in decision making. This can lead us to choose options that may be objectively worse, but has less extreme values.

This weird feature of the human mind can also be utilized for properly designing human experience. For example, medical procedure can be tweaked in such way to ensure the patients’ well-being. The focus can be shifted into minimizing extreme pain instead of shortening the duration of the treatment, and make sure that towards the end of the treatment the discomfort can be tapered off.

In terms of personal development, I believe that being aware of this fact can encourage me to work harder. Sure, during the working-hard phase it might feel awful and there’s always the temptation to take the easy way out and quit. However, as long as the extremes of the experience is not that severe – meaning I’m not left incapacitated or scarred emotionally – then hard work is still manageable.

In my experience with intermittent fasting, the fasting period is really tedious as I experience hunger pangs and low energy. Later on, once I reached my target weight, I’m left with my result and the all the hassles of doing intermittent fasting just fade into memories.

So it’s always a good idea to take advantage of how to the remembering self works in both decision making and designing your efforts to maximize results while minimizing pain.

How I survived my PhD

Satu setengah tahun dari kelulusan, gw mau melihat sedikit ke belakang ke masa-masa saat gw melalui jenjang PhD dan apa yang sudah gw dapatkan dari situ. PhD gw mungkin nggak mulus-mulus amat, dan banyak naik turunnya. Namun toh pada akhirnya gw lulus – it’s a near win, but still a win nonetheless. Dalam tulisan kali ini mungkin gw mau sharingda sedikit saja tentang pengalaman gw dan cara-cara mengatasi permasalahan yang muncul selama PhD.

eyeglasses with gray frames on the top of notebook
Photo: @dandimmock, Unsplash

Pertama-tama, apa bedanya PhD (atau S3) dengan jenjang pendidikan S1 dan S2? Berdasarkan pengalaman gw pribadi, kuliah S1 lebih straightforward (bukan gampang loh). Kondisi yang diperlukan untuk sukses secara akademis lumayan jelas, dan action item yang bisa diturunkan dari situ juga gampang.

Gimana caranya sukses secara akademis? Dapat IPK maksimal. Gimana caranya dapat IPK maksimal? Ya dengan mendapat nilai A di dari sebanyak mungkin mata kuliah. Mendapatkan nilai A di mata kuliah biasanya sudah jelas kriterianya: dapat nilai yang bagus di ujian, ngerjain tugas dan PR. Buat masing-masing mata kuliah biasanya ada silabusnya, dan proses belajar mengajar nggak akan jauh-jauh dari situ (kecuali dapat dosen yang ajaib tapi itu lain cerita). Dari sisi kita, kita tinggal menyusun strategi untuk membagi waktu dan belajar dengan seefektif mungkin.

Agak berbeda dengan PhD, parameter keberhasilan akademik di sini agak blur. Misalnya kita gunakan analogi lomba lari untuk menggambarkan proses PhD, maka PhD adalah lari jarak jauh tanpa peta di mana kita juga nggak tahu harus berlari sejauh apa. Biasanya parameter keberhasilan S3 adalah output riset, yang berarti menerbitkan publikasi di jurnal internasional sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, topik apa yang layak untuk diteliti, pertanyaan apa yang harus kita ajukan dan bagaimana menjawabnya – semuanya harus kita susun sendiri.

Pada dasarnya riset PhD adalah proses mendorong batas ilmu pengetahuan manusia, karena itu nggak jarang bagi kita untuk merasa terdampar di tempat di mana kita nggak tahu kita ada di mana dan ke mana kita harus pergi. Akhirnya, nggak jarang orang merasa bego. Ini bisa jadi tantangan tersendiri buat ego individu, terutama buat orang-orang yang melabeli dirinya sendiri sebagai orang yang pintar – gw pribadi mengalaminya.

Berikut adalah sedikit saran yang bisa gw berikan kepada siapapun yang mungkin punya niatan untuk mengambil PhD, berdasarakan apa yang udah gw alami selama kurang lebih 5 tahun ngambil PhD dan 1.5 tahun riset sebagai postdoc.

1. Jangan dibawa personal, gagal itu biasa

Mungkin tips pertama dan paling penting, adalah jangan mengasosiasikan output PhD dengan identitas kita. Saat menjalani PhD, mudah bagi kita mengasosiasikan output PhD sebagai identitas karena sebagian besar waktu kita digunakan untuk riset. Akibatnya, kita menganggap sebagai cerminan diri kita. Jika riset gw bagus, tentu saja gw merasa bangga. Tapi ini juga bisa jadi bumerang, karena saat proses riset kegagalan bakal lebih sering terjadi.

Saat awal-awal memulai PhD di mana eksperimen gw sering gagal dan paper gw di-reject, gw pun menerjemahkan ini sebagai kegagalan personal. My project fails because I’m an idiot and a failure. Padahal ya setelah melihat ke belakang ya nggak juga. Proyek gagal ya biasa aja, namanya juga mencoba hal yang baru. Kalau nggak nyobain hal baru, ya risetnya nggak worth it.

Anyone who has never made a mistake has never tried anything new

Albert Einstein

Anggap saja gagal sebagai sebuah proses pembelajaran, dan fokus ke bagaimana menyikapi kegagalan. Coba jadikan ini bahan pembelajaran atau review – apa yang bisa gw lakukan dengan lebih baik dibanding sebelumnya? Apa yang sudah gw pelajari dari proses ini?

2. Fokus ke proses dan buat rutinitas

Riset PhD adalah sesuatu yang butuh waktu sangat lama sampai kita dapat feedback apakah yang kita kerjakan berhasil atau gagal. Yang lebih apes, biasanya kegagalan akan jauh lebih sering muncul dibandingkan dengan kesuksesan, karena memang itulah nature dari riset: jungkir balik dengan rentetan kegagalan, dan sesekali sukses.

Karena itulah, gw amat sangat menyarankan untuk fokus ke proses saja dibandingkan dengan terus menerus khawatir dengan hasil akhir dari research. Bagaimana kita mengatur proses sepenuhnya ada di bawah kendali kita, sementara hasil dari riset belum tentu bisa dikendalikan.

Ide yang menjadi inti dari buku Atomic Habits adalah perubahan besar dimulai dari hal-hal kecil. Apabila setiap hari kita jadi 1% lebih baik dari hari kemarin saja, maka dalam satu tahun kita sudah melakukan progress sebesar 1.01^365, yaitu sekitar 37 kali lipat. Ya, bahkan hanya dengan fokus ke hal-hal kecil saja, dalam jangka panjang kita bisa melihat progress yang signifikan.

printed sticky notes glued on board
Photo: Daria Nepriakhina, Unsplash

Kunci dari fokus ke hal-hal kecil ini adalah dengan membuat rutinitas yang bisa diimplementasikan setiap hari. Orang pada umumnya menganggap orang yang sukses konsisten menempa dirinya punya willpower dan motivasi yang kuat. Akan tetapi, ini salah. Pada kenyataannya, kunci dari konsistensi adalah rutinitas, di mana kita bahkan nggak butuh motivasi lagi untuk mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. Kapan terakhir kalian harus mengumpulkan motivasi untuk bisa gosok gigi dua kali sehari?

Dalam PhD, banyak rutinitas yang bisa diterapkan untuk membantu progress PhD. Gw pribadi saat ini rutin membuat jadwal rencana pekerjaan hari itu, membaca paper dan membuat rangkuman, serta membuat progress report mingguan. Selain rutinitas yang berkaitan langsung dengan research sendiri, gw juga mengimplementasikan rutinitas yang membantu mempertahankan well-being gw, misalnya olahraga rutin, meditasi, dan journaling.

3. Fokus ke small wins

Berkaitan dengan poin nomor 2, coba ganti fokus dari merayakan sukses besar di akhir proyek jadi merayakan kesuksesan-kesuksesan kecil yang didapat selama proses.

Berhasil dapat gambar SEM yang bagus? Baru saja belajar cara pakai alat baru? Congrats, give yourself a pat on the back! Merayakan kemenangan sekecil apapun bisa membantu mempertahankan level motivasi kita di level tingkat yang acceptable.

4. Cari hobi dan istirahat yang cukup

Merasakan stres selama menjalani PhD adalah sesuatu yang wajar. Akan tetapi, dengan terus menerus berada dalam kondisi stres, cepat atau lambat kita akan mengalami mental breakdown. Hal ini akan menjadi counterproductive, karena kita justru nggak akan bisa menghasilkan output riset yang bagus apabila kita nggak dalam kondisi yang baik.

Menekuni hobi yang kita lakukan murni hanya karena kita suka melakukannya bisa membantu meredakan level stres kita. Dan berkaitan dengan dua poin sebelumnya, ini juga bisa memberikan kita semacam sense of accomplishment sehingga kita nggak merasa diri kita butut-butut amat.

Selama PhD, dua hobi yang sering gw lakukan adalah fotografi dan mengexplore Saudi. Menjalani kedua hobi ini beneran kerasa manfaatnya membantu gw mempertahankan sanity gw, karena saat menjalani hobi ini gw bisa melepas pikiran gw dari masalah riset. Selain itu, ada rasa pencapaian sendiri saat gw berhasil jalan-jalan ke tempat yang nggak umum dikunjungi orang – visa wisata Saudi baru ada akhir-akhir ini – dan mendapatkan foto-foto yang menurut gw wallpaper-worthy.

Satu hal lain yang harus diperhatikan adalah istirahat yang cukup. Ada orang-orang yang entah kenapa bangga kalau mereka begadang dan nggak tidur demi mengerjakan tugas. Well, menurut gw ini aneh sih, karena saat kita kekurangan tidur kemampuan kognitif kita menurun, dan kita nggak akan bisa menghasilkan output yang bagus. Belum ditambah kesehatan yang memburuk kalau ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.

Di hari-hari tertentu memang sebagai PhD student kita harus menghabiskan waktu yang lama untuk eksperimen atau menulis paper, tapi jangan sampai jadi kebiasaan. Pastikan kerja keras juga diimbangi dengan istirahat yang cukup. Getting your PhD but losing your mental and physical health is just not worth it.

5. It’s ok to get help

Jujur, masa-masa PhD bagi gw pribadi adalah masa-masa yang sangat melelahkan dan stressful. Lembur dan kerja weekend bukan hal yang asing, dan ketidakjelasan tentang masa depan jadi beban tambahan tersendiri. Nggak ada yang menjamin bahwa usaha yang dimasukkan ke dalam research kita pasti jadi sesuatu yang layak publish – oke dalam hal ini gw sangat beruntung karena di akhir PhD gw alhamdulillah semuanya lancar, tapi 2-3 tahun pertama benar-benar mandek.

Saat itu gw pun stres berat, merasa bahwa PhD ini nggak ada artinya, dan ujung-ujungnya merasa gw sebagai manusia gagal karena nggak becus ngejalanin PhD. Waktu itu gw seriously considering to just find a job and quit this damn program.

Untungnya, waktu itu gw memutuskan untuk coba cari bantuan dengan ikutan konseling psikologis dari KAUST. Sebenarnya waktu itu gw agak malu ikut konseling seperti ini, karena gw merasa mungkin yang layak cari bantuan adalah mereka yang memang punya trauma atau luka psikologis – entah karena abuse atau kecelakaan masa kecil. Sementara gw datang dari keluarga ekonomi menengah bahagia yang nggak punya masalah apa-apa.

Tapi setelah sampai ke sini dan melihat ke belakang, gw sadar bahwa tiap orang punya ambang batasnya masing-masing. Bisa jadi orang lain melihat suatu masalah sebagai masalah yang sepele, tapi bagi otak orang yang mengalami masalah itu tetap di-recognize sebagai suatu luka yang serius. Nggak ada gunanya membanding-bandingkan masalah satu orang ke orang lain. Jangan karena merasa masalah kita terlalu sepele terus kita nggak mencoba untuk mencari pertolongan dari orang lain.

Proses konselingnya sendiri sih kurang lebih lebih seperti ngobrol jujur tentang masalah yang gw alami dan tiap sesi gw melakukan latihan mindfulness. Singkat cerita gw nggak paham betul bagaimana sesi ini membantu gw dalam mengurangi anxiety dan stress, tapi pada akhirnya gw berhenti konseling setelah gw merasa level stress gw ada di taraf yang manageable.


Mungkin itu sedikit sharing tentang hal-hal yang gw alami selama jadi mahasiswa PhD, dan 6 poin di atas adalah hal yang mungkin akan gw sampaikan ke diri gw sendiri saat gw mulai menjalain prosesnya. Tentu saja list ini sangat anecdotal, dan mungkin nggak berlaku buat orang lain yang membaca tulisan ini.

Tulisan ini pada dasarnya juga dibuat sebagai proses gw melihat ke belakang dan mengevaluasi apa yang udah gw lalui dari perpsektif orang luar, apa yang berhasil, apa yang gagal, dan semua yang harus disyukuri. Apakah semua kesulitan yang gw dapat selama PhD worth it? Absolutely. Apakah gw mau melewati proses PhD lagi? Nope, cukup sekali saja (tapi malah ngambil postdoc).

Tracking my failures

Satu tahun menjelang berakhirnya kontrak kerja gw di LiU, gw mulai mencari-cari pekerjaan baru dan submit ke berbagai lowongan kerja. Apakah ini kecepetan? Nggak juga sih, karena proses cari kerja bisa memakan waktu hingga setengah tahun atau bahkan lebih. Stake nyari kerja kali ini pun lebih tinggi dari sebelumnya, mengingat gw ada di Swedia dengan temporary resident permit, dan kalau kontrak gw habis ya gw nggak bisa tinggal di Swedia.

Gw pun apply ke lowongan di EU, baik di dalam dan luar Swedia di saat yang bersamaan. Apakah gw betah di Swedia? Oh tentu! Kalau bisa gw pengen di sini terus sampai pensiun, menikmati sistem welfare yang diberikan Swedia berupa pendidikan anak gratis dan biaya kesehatan yang terjangkau (ditambah gaji gw yang udah disalurkan ke pension plan lumayan banyak). Sayangnya, mengingat kemampuan bahasa Swedia gw masih pas-pasan, dan kondisi pandemi ini, sebagai pencari kerja mungkin gw nggak bisa terlalu pilih-pilih dalam mencari kerja.

Awalnya gw memutuskan fokus ke lowongan kerja di Industri, karena gw pengen punya karir jangka panjang. Tapi, setelah mencoba selama dua bulan dan dihantam penolakan demi penolakan, gw pun akhirnya memutuskan untuk nyoba juga apply ke lowongan di akademik. Loh kalau mau ke akademik kenapa nggak tetap di LiU aja? Yah, apa boleh buat karena satu dan lain hal kelihatannya nggak ada dana penelitian yang bisa digunakan untuk memperpanjang kontrak lol.

Seiring dikirimnya lamaran demi lamaran, gw juga mendata tiap aplikasi kerja yang gw kirim dalam bentuk spreadsheet, dengan tujuan:

  1. Tracking aplikasi mana aja yang udah gw kirim dan udah berapa lama sejak masuk ke sistem. Pada akhirnya pasti ada aja yang dighosting.
  2. Punya gambaran, kira-kira butuh berapa lama sampai lanjut ke tahap berikutnya, atau ditolak.
  3. Karena gw ga bisa mengontrol keterima apa enggak, gw pun fokus ke hal yang bisa gw kontrol: jumlah aplikasi yang gw submit. Dengan nge-track progress gw, meskipun ditolak gw punya kepuasan tersendiri dengan tahu bahwa gw udah berusaha dalam proses cari kerja. Mind you, gw nggak asal nyebar aplikasi kerjaan dengan copas, tiap aplikasi gw customize sesuai dengan perusahaan tempat gw apply.
  4. Just to laugh at myself :p. Memang jatuh berkali-kali tuh sakit, tapi cukup dengan satu kali sukses aja gw sekarang ada di posisi yang lumayan aman dan bisa ketawa ngeliat track record cari kerja gw yang butut banget.

Buat yang pengen tahu seberapa bututnya:

Image
Look at all those red cells

Jadi jangan dikira punya PhD bikin gampang cari kerja ya :)). Semoga dengan menggunakan koneksi industri Tyndall proses cari kerja berikutnya bisa lebih baik lagi, amin amin!

Winter fun

Hej hej! We’re lucky to have tons of snow in the past week here in Linköping, so I had the opportunity to photograph a lot of snowy winter scene! Definitely a huge improvement over dreary, gloomy, and wet December!

End of new year vacation, and back to work

Hej hej! I haven’t written any casual english post for a very long time here, so it’s a good opportunity to practice now! So far the only english I’ve written are formal academic english text, so my english writing has gotten to the point where it’s so overly formal and stiff.

Taking advantage of Sweden’s generous paid leave (30 work days or 6 weeks), I’ve been taking the last two weeks off. But since we all know that the Covid disease is still widespread in Europe, it turns into a two weeks long staycation. Even if we go to Stockholm right now, most of the major tourist attractions are closed to prevent further spread of the virus, and we’ll have the added anxiety from having to take public transport. Luckily Sweden is planning to have everyone above 18 years old vaccinated by midsummer, so hopefully the next winter won’t be as boring.

2020 has been pretty harsh for everyone. Still, as someone who’s been trying to adopt the principles of Stoicism, I will acknowledge that I’ve managed to become a better person and many good things have happened to me this year. And I have been much, much luckier than maybe the average person.

Taken on the last day of 2020

During the christmas and new year vacation, all work recruitment process is frozen, meaning that I don’t have to keep anxiously refreshing LinkedIn’s job post and draft new cover letters and resume everyday. The last two weeks have been pretty kind on my mental health. I had the opportunity to take a step back and learn skills that are more relevant to the industry, including coding in Python, machine learning, statistics, and design of experiments. It also give me the chance to review my career goals, so that I can do a more directed job search instead of frantically trying to apply for any job posting available.

So what’s next? Working with the magnetron sputter epitaxy system at LiU is interesting, but with only 9 months remaining with my contract, it’s a good time to readjust my research goals, and maybe target things that are more short term. It would be pretty exciting though if we managed to develop the system enough that it can produce doped materials. I will continue to set aside time to learn new skills throughout the day – it’s one of the advantage of working in this field, when your process is running you have a lot of free time and can multitask by doing something else.

For now, what I’m planning to do daily:

  1. Continue to learn how to code, especially for processing scientific data. It’s useful if you have your collection of scripts to automate repetitive tasks.
  2. Write using english, both casual articles like this one and longer essays.
  3. Read book, both fiction and nonfiction.
  4. Cardio and strength training.
  5. Continue learning Swedish.

This is not exactly new year resolution, but more like ‘atomic habits’ that I want to implement bit by bit daily. I found that actually scheduling the habits in my Google Calendar helps, as it gives me an overview of how I allocate my time for work and studying. It also helps me avoid feeling guilty for not doing enough by providing clarity.

With the vaccine coming, hopefully this year will be a better year for all of us.

Hejdå!